Hotman Paris Bongkar Celah Ketidakadilan dalam Kebijakan PPATK

Jakarta, iNewsFlores.id- Di tengah upaya negara menutup celah transaksi ilegal melalui sistem keuangan, kebijakan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk memblokir rekening bank yang tidak aktif selama tiga bulan memicu perdebatan.
Salah satu yang paling vokal membongkar celah ketidak adilan adalah pengacara senior Hotman Paris Hutapea, yang menilai kebijakan tersebut berpotensi melukai hak dasar masyarakat, terutama mereka yang tinggal jauh dari akses ekonomi perkotaan.
“Negara tidak berhak membekukan rekening orang hanya karena tidak dipakai. Itu hak pribadi,” ujar Hotman dalam sebuah video yang diunggah ke media sosial, Senin, 28 Juli 2025.
Ia mempertanyakan dasar hukum pembekuan sepihak tersebut dan menilai langkah itu tidak semestinya diberlakukan tanpa kejelasan hukum yang kokoh.
Hotman menyampaikan bahwa banyak warga desa membuka rekening semata-mata untuk keperluan administratif, seperti pencairan bantuan sosial, namun kemudian tidak aktif digunakan karena keterbatasan akses maupun kebutuhan.
Menurutnya, pembekuan terhadap rekening yang minim aktivitas tidak dapat dibenarkan secara hukum maupun etika karena menyangkut hak milik individu.
Pernyataan itu muncul sebagai respons atas kebijakan pemblokiran rekening dormant oleh PPATK, yang disebut sebagai bagian dari strategi pengawasan terhadap potensi penyalahgunaan sistem keuangan.
Lembaga tersebut menyebut bahwa banyak rekening tidak aktif yang belakangan ditemukan digunakan dalam transaksi ilegal, termasuk jual beli rekening dan pencucian uang.
Dalam kerangka regulasi yang ada, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjelaskan bahwa rekening dormant adalah rekening yang tidak menunjukkan aktivitas, baik dalam bentuk penyetoran, penarikan, maupun transfer, selama tiga hingga enam bulan berturut-turut.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menyebut bahwa pengelolaan rekening tidak aktif sepenuhnya berada dalam kewenangan internal bank, termasuk pengaturan sistem pemantauan dan tindakan lanjutan seperti pemblokiran.
Kebijakan ini juga telah diterapkan di sejumlah bank swasta dan nasional. PT Bank CIMB Niaga Tbk., misalnya, secara tegas menyatakan dapat memblokir atau menutup rekening dormant jika terindikasi digunakan dalam aktivitas melanggar hukum.
Pemblokiran juga dapat dilakukan atas permintaan lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maupun instansi lain yang memiliki otoritas.
Direktur Operasional dan Teknologi Informasi CIMB Niaga, Rico Usthavia Frans, juga mengatakan bahwa rekening dormant tetap menjadi milik sah nasabah, selama saldo masih tersedia. Ia menyatakan bahwa rekening yang tidak digunakan akan tetap dikenai biaya administrasi rutin hingga saldo menyentuh angka nol.
“Rekening dormant masih merupakan hak nasabah dan akan mengikuti aturan biaya administrasi yang ada sampai saldonya habis,” ujarnya.
Fenomena pengenaan biaya administrasi secara terus-menerus terhadap rekening tidak aktif ini turut menimbulkan kekhawatiran tersendiri.
Dalam banyak kasus, saldo rekening nasabah terus tergerus oleh beban biaya hingga akhirnya sistem secara otomatis menutup rekening tersebut.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana nasabah memahami hak dan kewajibannya, serta bagaimana bank memberikan informasi yang cukup kepada pemilik rekening mengenai potensi risiko tersebut.
Kritik Hotman Paris tidak berdiri sendiri. Dalam konteks sosial yang lebih luas, kebijakan pemblokiran rekening dormant dinilai belum cukup menjangkau kompleksitas kondisi masyarakat di lapangan.
Aktivitas finansial yang rendah bukan berarti adanya potensi kejahatan. Ia mendesak agar kebijakan tersebut dievaluasi dengan mempertimbangkan aspek keadilan, transparansi, serta perlindungan hak nasabah secara menyeluruh.
“Jangan sampai kebijakan yang niatnya baik malah mencederai rasa keadilan rakyat kecil,” tegas Hotman.
Editor : Yoseph Mario Antognoni