Mikael menilai, pihak kepolisian Polres Mabar tidak melakukan tugasnya sebagai aparat penegak hukum pelindung masyarakat dan pengayom masyarakat. Bahkan ini membuat kepercayaan Polri di mata masyarakat semakin hilang.
Mikael menceritakan, lahan seluas 11 ha, berdampingan dengan Bukit Keranga di Labuan Bajo, terhampar sebagiannya berupa padang datar ke arah bibir pantai, dan sebagiannya terbentang hingga jalan raya jalur dari Labuan Bajo menuju Batu Gosok, adalah tanah milik keluarganyz yang bernama Suwandi Ibrahim. Tanah tersebut merupakan warisan yang diperoleh dari almarhum Ibrahim Hanta, ayah Suwandni Ibrahim.
Sementara Kapolres Manggarai Barat Ari Satmoko hingga saat ini belum berhasil dijumpai. Ia diketahui sedang berada di luar kota.
"Bisa ke Kasat Reskrim ya, saya ada kegiatan di Kupang," tulisnya melalui pesan WhatsApp, (30/8/2023).
Untuk diketahui, berdasarkan penuturan Suwandi Ibrahim dan beberapa orang tua di Waemata, Ibrahim Hanta mendapatkan tanah tersebut dari Penguasa Ulayat Labuan Bajo, dan sudah menggarap tanah tersebut sejak tahun 1973.
Di tempat tersebut, ia membangun pondok untuk tinggal, menanam nangka, kelapa, serta pohon jati, juga memelihara hewan seperti kerbau dan sapi, bahkan di tempat tersebut istrinya hamil dan lahirlah seorang putra bernama Suwandi Ibrahim, putra bungsu mereka.
Ketika Ibrahim Hanta makin tua, ia kembali ke rumah utamanya di Waemata, kota Labuan Bajo dan meninggal pada 14 Maret tahun 1986. Di Lengkong Keranga, sampai tahun 2019, pondok orang tua mereka yang terbuat dari kayu masih tampak terlihat, walau tinggal kerangka karena sudah lama tak dihuni, sementara pohon kelapa dan jati masih tetap ada hingga hari ini.
Saat tamat SMA, Suwandi Ibrahim menjadi anggota TNI AD. Pernah bertugas di Timor Timur sewaktu menjadi salah satu Propinsi Indonesia, dan setelah Timor Leste menjadi Negara tersendiri, ia kembali, bertugas di Bali. Setelah itu balik bertugas di Labuan Bajo, lalu ke Malaka di Timor dan kini balik lagi ke Labuan Bajo.
Sewaktu Suwandi Ibrahimi bertugas di luar Manggarai Barat, karena kakak laki-lakinya saat itu mulai sakit-sakitan, atas pesetujuan keluarga besar di Labuan Bajo, penjagaan tanah seluas 11 ha itu dipercayakan kepada salah satu anggota keluarga dekat mereka, yaitu Mikael Mensen.
Mikael Mensen Dan anggota keluarga secara rutin datang untuk membersihkan lahan itu, serta membangun 2 (dua) pondok kecil sebagai tempat berteduh.
Lalu pada tahun 2019 Suwandi & keluarga (bersama Mikael Mensen) ingin membuat dokumen atas kepemilikan tanah tersebut, merekapun mengajukan proses administrasi untuk pensertifikatannya ke kantor BPN (Badan Pertanahan Nasional) di Labuan Bajo. BPN pun turun ke lokasi melakukan pengukuran dan pembuatan peta bidang.
Ketika akan berlanjut pada proses administrasi berikutnya, betapa terkejutnya mereka, ternyata dalam catatan administrasi BPN, sebagian tanah tersebut, di bagian rata sampai bibir pantai sudah bersertifikat hak milik atas nama orang lain, yaitu atas nama Niko Naput dan istrinya. Sisanya di bagian lereng hingga jalan raya, juga sedang dalam proses pembuatan peta bidang atas nama anak-anak Niko Naput dan entah atas nama ponakannya juga.
Suwandi dan Mikael Mensen serta seluruh keluarga berang! Semuanya ditumpahkan pada saat sidang mediasi di kantor BPN bersama Kuasa Hukum keluarga Niko Naput, dan melakukan demo ke kantor BPN, Kantor Polisi, Kejari dan kantor Bupati dengan seruan utamanya adalah " basmi tuntas mafia tanah di Labuan Bajo dan bersihkan BPN dari sarang oknum mafia tanah".
Atas peristiwa pensertifikatan tanah atas nama Niko Naput dan keluarganya itu, Suwandi Ibrahim melaporkan ke Polisi, terdaftar dengan No. LP/B/240/IX/2022, pemalsuan tanda tangan dan penipuan.
Editor : Yoseph Mario Antognoni