Flores Timur, iNewsFlores.id- Kasus persetubuhan terhadap seorang gadis remaja berinisial PLS (16) asal Kecamatan Titehena oleh 13 pria dari Wulanggitang masih bergulir di Kabupaten Flores Timur. Berkas perkara yang telah diserahkan oleh Penyidik Polres Flores Timur ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Flores Timur dikembalikan untuk dilengkapi data lebih lanjut.
Hingga saat ini, pihak kepolisian masih dalam proses memenuhi petunjuk yang diberikan oleh jaksa.
"Masih lengkapi petunjuk Jaksa," kata Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Flores Timur, Iptu Lasarus M.A La'a saat dikonfirmasi oleh iNewsFlores.id, Selasa, 17 September 2024.
Meski demikian, Iptu Lasarus tidak menjelaskan secara rinci petunjuk apa saja yang perlu dilengkapi oleh pihaknya. Ia hanya menegaskan bahwa timnya terus berupaya untuk memperbaiki berkas yang dianggap kurang oleh Kejari Flores Timur.
"Nanti kalau sudah kirim, saya infokan," tambahnya singkat.
Sebelumnya, pada 9 Agustus 2024, Penyidik Satuan Reskrim Polres Flores Timur telah menyerahkan berkas perkara tindak pidana tersebut ke Kejari Flores Timur. Berkas tersebut didasarkan pada laporan polisi nomor LP/B/181/VI/2024/SPKT/Polres Flores Timur/Polda NTT, tanggal 27 Juni 2024.
Dalam upaya penegakan hukum, penyidik membagi kasus ini menjadi enam berkas untuk 12 pelaku. Namun, pihak Kejari Flores Timur mengembalikan berkas tersebut untuk dilengkapi.
"Berkas kasus persetubuhan oleh 13 orang tersangka terhadap satu anak di bawah umur ini sudah masuk ke kejaksaan, hanya kita sudah kembalikan untuk dilengkapi kembali," jelas Kepala Seksi Pidana Umum Kejari Flores Timur, I Nyoman Sukrawan belum lama ini.
I Nyoman Sukrawan menjelaskan bahwa berkas untuk 13 tersangka tersebut dipecah menjadi tujuh split, mengingat peran masing-masing tersangka yang berbeda-beda dari Tempat Kejadian Perkara (TKP) 1 hingga TKP 4. Setiap peran ini nantinya akan disandingkan dengan jeratan pasal yang sesuai.
Terhadap kasus ini, pelaku dijerat Pasal 81 Ayat (1) dan Ayat (2) UU RI Nomor 17 Tahun 2016, tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 01 Tahun 2016, tentang perubahan kedua atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002, tentang perlindungan anak Jo Pasal 76D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU RI Nomor 23 Tahun 2022 tentang perlindungan anak Jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
"Ancaman hukuman minimal 5 tahun penjara, dan maksimal 15 tahun penjara," jelas Nyoman.
Kasus ini mendapat perhatian serius dari berbagai aktivis kemanusiaan, termasuk Truk F dan JPIC Flores Bagian Timur. Kedua lembaga ini telah melakukan pendampingan terhadap korban, khususnya terkait kondisi psikologis korban.
Organisasi ini berkomitmen untuk memastikan bahwa perlindungan bagi korban dapat terlaksana dengan baik. Mereka mendorong sinergi antara keluarga, pemerintah daerah, dan aparat penegak hukum dalam mewujudkan perlindungan dan keadilan bagi korban, sekaligus memberikan efek jera bagi pelaku.
"Kami mendorong pihak kepolisian untuk terus bekerja dengan profesional, tanpa mengesampingkan pendekatan humanis, mengingat kondisi psikologis korban yang belum stabil," ujar Heni Hungan, Aktivis TRUK F Maumere.
Ia menekankan pentingnya perhatian ekstra dalam proses hukum kasus kekerasan terhadap anak, mulai dari tahap penyelidikan oleh kepolisian, hingga proses penuntutan di kejaksaan dan pengadilan.
“Kekerasan terhadap anak merupakan ancaman nyata, bukan hanya bagi kemanusiaan tetapi juga bagi keberlangsungan masa depan bangsa. Oleh karena itu, kasus ini harus mendapat perhatian serius dari aparat penegak hukum,” jelas Heni.
Dia menegaskan akan terus mengawal proses hukum hingga tercapainya keadilan bagi korban, dengan mendesak penerapan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual terhadap pelaku.
Editor : Yoseph Mario Antognoni