Flores Timur, iNewsFlores.id– Pemerintah Kabupaten Flores Timur secara resmi menetapkan 1.679 kepala keluarga sebagai calon penerima bantuan hunian tetap bagi pengungsi korban erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki. Penetapan ini dituangkan dalam Surat Keputusan (SK) Bupati Flores Timur Nomor 368 Tahun 2024, yang ditandatangani Penjabat Bupati Sulastri H.I. Rasyid pada 29 November 2024. Namun, kebijakan ini justru menimbulkan pertanyaan serius di kalangan warga terkait kejelasan dan keadilan prosesnya.
Kelima desa yang menjadi target relokasi adalah Desa Dulipali dan Desa Nobo di Kecamatan Ile Bura, serta Desa Nawokote, Desa Hokeng Jaya, dan Desa Boru (meliputi Dusun Podor dan sebagian Dusun Kampung Baru) di Kecamatan Wulanggitang. Meski nama calon penerima telah ditetapkan, hingga kini lokasi relokasi belum diumumkan. Hal ini menambah ketidakpastian bagi masyarakat yang harus meninggalkan zona rawan bencana (KRB) di sekitar Gunung Lewotobi.
Di Desa Boru, kewajiban relokasi seharusnya hanya berlaku untuk Dusun Podor dan Dusun Kampung Baru, yang berada pada radius 5,1 km dari pusat kawah. Namun, Surat Keputusan Bupati Flores Timur tersebut juga memuat nama-nama warga dari Dusun Gemente dan Dusun Kelobong, yang seharusnya tidak masuk dalam zona relokasi. Kejanggalan ini memicu keresahan di kalangan masyarakat.
“Pendataannya bagaimana? Ada kelalaian yang sangat jelas. Mengapa nama warga dari dusun yang tidak termasuk zona relokasi bisa masuk dalam daftar penerima hunian tetap? Ini bisa menjadi masalah di kemudian hari. Diharapkan hunian tetap itu benar- benar hanya untuk penduduk dalam radius 5,1 kilometer itu," tegas Tino Plue warga Desa Boru.
Sementara Mikhael Lewar warga lainnya
menegaskan bahwa proses pendataan harus dilakukan secara serius dan akurat. “Kami butuh kepastian. Relokasi ini bukan hanya soal pindah tempat tinggal, tapi menyangkut keselamatan,” ujarnya.
Selain itu, Mikhael juga mengungkapkan bahwa masih banyak warga Dusun Kampung Baru yang enggan, bahkan menolak relokasi, namun terpaksa mengikuti arahan pemerintah.
“Hal ini karena masyarakat bingung terkait titik koordinat yang menjadi batas relokasi. Tampaknya, kebijakan relokasi ini lebih didasarkan pada batas dusun, bukan berdasarkan jarak radius bahaya,” jelasnya.
Masyarakat mendesak pemerintah untuk memberikan penjelasan terbuka terkait dasar kebijakan ini. Ketidakjelasan informasi dinilai dapat memicu konflik dan keresahan yang lebih dalam di tengah masyarakat yang sudah trauma akibat erupsi.
“Pemerintah harus hadir memberikan kepastian, bukan malah membingungkan. Jangan sampai ada pihak yang merasa diperlakukan tidak adil,” lanjut Mikhael.
Hingga berita ini diturunkan, Pemerintah Kabupaten Flores Timur belum memberikan tanggapan resmi terkait pertanyaan dan kritik yang disampaikan oleh masyarakat saat dikonfirmasi.
Editor : Yoseph Mario Antognoni