Ombudsman Soroti Carut-Marut Penyaluran BBM Bersubsidi di NTT

Kupang, iNewsFlores.id-Kepala Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Nusa Tenggara Timur, Darius Beda Daton, menyoroti berbagai persoalan dalam penyaluran bahan bakar minyak bersubsidi di wilayahnya. Ia menilai, sejumlah praktik yang terjadi di lapangan kerap kali merugikan masyarakat kecil yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama.
Menurut Darius, laporan yang masuk ke lembaganya menunjukkan beragam masalah yang berulang, mulai dari penyalahgunaan distribusi oleh pihak yang tidak berwenang, kualitas BBM yang tercemar, hingga adanya dugaan penyaluran ke luar negeri.
“Mencermati berbagai informasi terkait penyaluran BBM bersubsidi di Kabupaten Sabu Raijua pekan ini maka kami memandang perlu menyampaikan beberapa informasi terkait substansi keluhan masyarakat NTT,” kata Darius di Kupang, Rabu, 20 Agustus 2025.
Ia merinci, pertama, praktik penjualan BBM bersubsidi di luar jalur resmi marak terjadi. Bahan bakar jenis Pertalite dan Bio Solar yang seharusnya dijual di SPBU justru diperjualbelikan oleh oknum pemilik pom mini dan pengecer botolan dengan harga jauh lebih tinggi, antara Rp15 ribu hingga Rp40 ribu per botol.
Kondisi ini, meski di satu sisi membantu masyarakat yang kesulitan mengakses SPBU karena jumlah penyalur terbatas dan jam operasional tidak 24 jam, tetap membawa dampak negatif yang besar. Konsumen rentan dirugikan karena harga menjadi tidak terkendali, kualitas BBM berpotensi tidak sesuai standar Pertamina, hingga risiko kerusakan mesin kendaraan akibat campuran bahan bakar oplosan.
Kedua, muncul keluhan mengenai BBM yang tercampur air. Kasus ini paling banyak dilaporkan di Kota Kupang, baik dari pembelian di SPBU maupun di pertamini. Sejumlah kendaraan roda dua dan roda empat dilaporkan mengalami kerusakan setelah mengisi bahan bakar dari penyalur tidak resmi.
Masalah lain yang disoroti Ombudsman adalah penjualan BBM bersubsidi ke luar negeri. Ia menyebut ada indikasi solar subsidi diselundupkan ke Timor Leste melalui modus tambahan tangki pada kendaraan tronton yang dapat menampung hingga 200 liter.
Padahal, pemerintah telah menetapkan kuota ketat terkait pembelian BBM bersubsidi per kendaraan. Untuk Bio Solar, kendaraan pribadi roda empat hanya boleh membeli 60 liter per hari, mobil barang 80 liter, dan kendaraan roda enam maksimal 200 liter. Sedangkan Pertalite, kuotanya 120 liter per hari untuk roda empat dan 10 liter untuk sepeda motor.
“Artinya ada dugaan penyaluran BBM oleh penyalur atau SPBU menyimpang dari kuota harian per kendaraan,” ujar Darius.
Atas sejumlah persoalan tersebut, Ombudsman memberikan sejumlah rekomendasi. Pemerintah kabupaten dan kota diminta menerbitkan aturan tegas tentang larangan penjualan BBM bersubsidi secara eceran, baik menggunakan pom mini maupun wadah botolan.
Larangan itu, kata Darius, harus merujuk pada berbagai aturan yang berlaku, mulai dari Undang-Undang Migas, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hingga peraturan pemerintah dan surat edaran terkait legalitas usaha pertamini yang dinilai tidak sesuai ketentuan.
Selain itu, ia mendorong pemerintah daerah berkoordinasi dengan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) untuk menambah penyalur resmi di daerah-daerah yang masih sulit dijangkau SPBU. Regulasi terbaru, Peraturan BPH Migas Nomor 1 Tahun 2024, telah membuka ruang bagi hadirnya sub-penyalur di wilayah tertinggal, terdepan, terluar, dan terpencil.
“Upaya bersama ini penting agar tata kelola penyaluran BBM bersubsidi di NTT menjadi lebih baik. Masyarakat harus memperoleh BBM dengan kualitas terjamin, harga yang stabil sesuai ketentuan, penyaluran yang aman, dan tepat sasaran,” ucap Darius.
Editor : Yoseph Mario Antognoni