Dinilai Tidak Taat Hukum Pemilik Ayana Diminta Kosongkan Lahan Keuskupan Denpasar

Siprianus Robi
Papan Plank yang di Pasang oleh BPN Mabar terkait pembatalan penerbitan sertifikat atas tanah yang berlokasi di Binongko, Kelurahan Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Foto: iNewsFlores.id/ Siprianus Robi.

Labuan Bajo, iNewsFlores.id - Kasus kepemilikan tanah di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang melibatkan pihak Keuskupan Denpasar dan pemilik Hotel Ayana semakin menarik.

Dari pantauan media, pihak Keuskupan Denpasar menilai pemilik Ayana tidak taat hukum atas putusan tanah yang berlokasi di Binongko, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT.

Sikap Keuskupan Denpaar dalam keterangan pers menyatakan bahwa pihsk Keuskupan Denpasar sudah dinyatakan menang dalam putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dengan nomor : 14/G/2021/PTUN-KPG, tanggal 29-12-2021 Jo Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor: 33/B/2022/ PT. TUN.SBY, tanggal 06-04-2022. JO Putusan Kasasi Mahkama Agung RI Nomor: 448K/ TUN/2022, tanggal 16-08-2022.

Rm. Alfons selaku perwakilan dari  Keuskupan Denpasar mengatakan tanah Keuskupan Denpasar dengan SHM 532 sudah ada sejak tahun 1994. Dalam perjalanannya waktu munculah empat (4) sertifikat ganda diatas tanah Keuskupan Denpasar ini, yaitu, Ayana, Rudi, Harto dan Abdul Fatah.

"Kemudian proses hukum telah dilewati dan pihak Keuskupan Denpasar menang dan sampai tahap terakhir itu Badan Pertahanan Nasional membatalkan empat (4) sertifikat ganda ini, maka dengan demikian kita memiliki hak atas tanah itu bahwa pemilik utama yaitu pihak Keuskupan Denpasar dan di lokasi juga sudah dipasang plang pembatalan keempat sertifikat itu," ungkap Rm. Alfons kepada awak media di Labuan Bajo, Kamis (5/10/2023) malam.

Rm. Alfons menjelaskan semua proses sudah dilewati sampai pengumuman di Koran itu selama 40 hari dan tidak ada reaksi dari 4 pemilik sertifikat ganda ini. Dan pada tanggal 14 Agustus 2023 lalu terjadi aktivitas dilahan tanah kosong itu yaitu bahwa pihak Ayana membuat aktivitas dengan memagari tanah itu dengan seng warnah biru.

"Waktu itu saya sempat datang ke lokasi dan menyampaikan baik-baik supaya tidak ada aktivitas diatas tanah itu tetapi besoknya mereka tetap melakukan aktivitas dengan memagari itu. Kemudian setelah kita pulang mereka melanjutkan aktivitas dengan memasang seng dan juga mereka memasang tulisan tanah ini milik perseorangan pribadi berdasarkan akta jual beli No. 198/2016 dan akta jual beli No. 41/2018," ungkapnya.

Rm. Alfons menyebut, mereka (pihak Ayana) ini hanya mengandalkan akte jual beli padahal akte jual beli itu. Kan proses itu adalah salah satu persyaratan untuk mendapatkan sertifikat, dan pihak pertanahan juga sudah menggugurkan sertifikat mereka, maka akte jual beli juga pun gugur, namun pihak Ayana tetap memasang papan pengumuman tentang kepemilikan.

"Inikan memancing emosi dan mencari masalah, apa tujuan mereka, BPN sudah memasangkan plang pembatalan sertifikat itu kemudian mereka masih melakukan aktivitas diatas lahan yang ada, maka kita dari pihak Keuskupan Denpasar tidak terima dan kita juga diminta oleh Bapak Uskup Denpasar untuk mengambil alih tanah tersebut karena sudah putusan inkrah," ucapnya.

"Kita datang baik-baik dan meminta para pihak untuk tinggalkan lahan  tersebut dan kita juga masih menggunakan cara yang baik untuk melakukan negosiasi dan mencari solusi untuk masalah ini. Kita juga masih memberikan waktu untuk tinggalkan lokasi sampai besok (hari ini) untuk mereka melakukan koordinasi dengan atasannya. Dan apabila mereka (pihak Ayana) masih melakukan aktivitas diatas lahan itu, maka kita akan melakukan tindakan yang yang lebih serius," tambah Rm. Alfons.

Ardi Ganggas yang juga sebagai perwakilan dari Keuskupan Denpasar menilai pihak Ayana telah melakukan pelanggaran hukum sebab melawan putusan dari BPN.

"Kami melihat terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh pihak Ayana. Sudah sangat jelas  BPN sendiri sudah memasang Plang di sana bahwa tanah tersebut merupakan milik Keuskupan Denpasar," ungkap Ardi.

Ia juga menjelaskan berdasarkan surat dari Kementerian Agraria Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional yang dikeluarkan di Provinisi ada pembatalan 4 sertifikat. Yang pertama itu luasan 1566 atas nama Rudianto setiawan. Yang kedua, 2068 yang luasannya itu 600 meter persegi. Yang ketiga, atas nama Hendrikus Adi Suharto dan yang keempat atas nama Abdul Fatah.

"Dua orang ini atas nama Suharto dan Abdul Fatah sudah tidak ada masalah dan mereka iklas bahkan mereka menyampaikan permohonan maaf kepada Keusukupan Denpasar. Ini sudah jelas," ungkapnya.

Sementara, hingga berita ini diterbitkan pihak Ayana belum berhasil dikonfirmasi walaupun media ini sudah menghubungi pihak Ayana melalui Budi via pesan WhastApp namun belum ada jawaban.

Editor : Yoseph Mario Antognoni

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network