Ini Kata Kades di Manggarai NTT Terkait Wacana Masa Jabatan Kades 9 Tahun

Ronald Tarsan
Kepala Desa Mata Wae, Marthen Don. Foto: iNewsFlores.id/Ronald Tarsan

Ruteng, iNewsFlores.id - Wacana perpanjangan masa jabatan kades dari 6 tahun menjadi 9 tahun terus bergulir. Meski Presiden Joko Widodo telah menyatakan menolak masa jabatan kades menjadi 9 tahun. Sebelumnya, para kepala desa melalui APDESI (Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) bersama sejumlah Fraksi di DPR RI serius memperjuangkan masa jabatan kades agar diperpanjang menjadi 9 tahun.

Merespon hal tersebut, Marthen Don, Kepala Desa Mata Wae, Kecamatan Satar Mese Utara, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT) mengatakan, harus disadari bahwa kepala desa adalah representatif masyarakat yang mendapat mandat langsung dari konstituennya melalui hajatan demokrasi Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Proses ini kata dia, tentu tidak mudah. Sebab, setiap tahapan proses rata-rata melalui berbagai dinamika yang tidak sehat. Bahkan sampai melahirkan konflik sosial di masyarakat sebagai akibat langsung dari proses demokratisasi.

"Menurut saya sah-sah saja, karena itu bagian dari aspirasi yang harus disampaikan dan tentu melalui berbagai alasan dan kajian mendalam. Kita menyadari, bahwa tugas seorang pemimpin adalah merangkul dan mengayomi tetapi hal itu tak semudah membalikan telapak tangan, tetapi membutuhkan waktu yang cukup lama," ujarnya melalui WhatsApp Senin (30/01).

Menurut Kades Marthen, ada beberapa alasan sehingga masa jabatan kades harus diperpanjang dari 6 tahun menjadi 9 tahun. Pertama, jabatan 6 tahun terlalu singkat untuk situasi dan kondisi saat ini. Sebab, situasi dan kondisi bangsa akibat pandemi Covid-19 dan diperparah perang Rusia dengan Ukraina. Karena itu, cukup berkontribusi buruk terhadap ekonomi global, termasuk  pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di Indonesia karena terjadi resesi. Sehingga berdampak pada refocusing anggaran, termasuk dana desa.

"Akibat waktu yang terlalu singkat ditambah dengan anggaran yang begitu kecil, para Kepala desa sulit mengimplementasikan visi-misinya," jelas dia.

Ketua APDESI Kabupaten Manggarai itu menjelaskan, waktu 6 tahun tak cukup untuk melakukan rekonsiliasi bersama warga. Sebab, dampak langsung dari proses Pilkades cukup memberikan efek negatif di dalam komunitas masyarakat sebagai konstituen. Oleh karena itu, kata dia, jika wacana 9 tahun nantinya dianggap konstitusional dan disetujui, itu sah-sah saja dan harus diapresiasi.

"Terkait berbagai opini publik yang menyebut melanggar konstitusi dan akan menyuburkan korupsi di Indonesia, menurut saya itu berlebihan dan bentuk justifikasi terhadap para kepala desa saat ini," tegas dia.

Menurut mantan jurnalis Beritasatu TV itu, masalah korupsi merupakan musuh bersama yang harus dilawan dan pengelolaan manajemen keuangan desa saat ini sudah berbasis aplikasi. Selain itu, pengawasan pengelolaan Dana Desa (DD) cukup ketat sebagaimana regulasi yang terus berubah setiap tahunnya bahkan berubah setiap semester.

"Pengelolaan keuangan desa berdasarkan kebutuhan prioritas berdasarkan aspirasi dari bawah dan tidak bebas sesuai kemauan kepala desa. Pertanggung jawaban pengelolaan keuangan desa cukup ketat dan pelaporannya secara berkala sesuai jadwal yang telah ditentukan, serta melalui beberapa tahapan verifikasi," pungkas dia.

Oleh karena itu, pendapat para pakar yang menyebut akan menyuburkan korupsi, sekali lagi itu berlebihan dan tak beralasan logis, mengapa? Tak menampik bahwa ada korupsi pada tubuh sejumlah kepala desa, tetapi itu oknum bukan seluruh kepala desa dan tidak dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif. Dengan demikian, sejumlah oknum kades yang melakukan pelanggaran hukum (korupsi) bukan representatif dari seluruh para kepala desa. 

"Sama halnya, dengan menteri, gubernur, bupati dan pejabat pemerintahan seperti kepala organisasi perangkat daerah (OPD). Pertanyaannya, apakah mereka yang melakukan korupsi itu bisa diklaim mewakili seluruhnya, kan tidak! Dan perlu dipahami bahwa jangan samakan kepala desa dulu dan sekarang. Saat ini pengawasan terhadap kepala desa cukup ketat, mulai dari regulasi tertulis, aparat penegak hukum, masyarakat dan LSM, termasuk organisasi kemahasiswaan. Sehingga semakin memperkecil ruang gerak korupsi sebagimana yg dimaksudkan para pakar tersebut," tegas Kades Marthen.

Ia menambahkan, kepala desa yang melakukan korupsi sama halnya "bunuh diri". Sebab, jelas-jelas itu adalah haram dan perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, sekali lagi tidak boleh menjustifikasi seluruh kepala desa korupsi. Seolah-olah kepala desa jahat dan tidak taat hukum. Jadi sekali lagi opini tersebut hanya akan memberikan mosi tidak percaya terhadap para kepala desa. 

"Soal pro-kontra itu hal yang biasa dan lumrah di negara demokrasi seperti ini. Berpendapat boleh-boleh saja karena itu hak setiap warga negara, tetapi akan lebih baik jika pendapat itu bersifat konstruktif dan solutif. Saya mendukung penuh upaya berbagai pihak dalam memperjuangkan masa jabatan kepala desa 9 tahun, termasuk pemerintah pusat dan lembaga DPR RI. Berharap upaya ini dapat terjawab sesuai yang diharapkan," tutup dia.

Editor : Yoseph Mario Antognoni

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network