Labuan Bajo, iNewsFlores.id – Kisah memilukan datang dari dunia pendidikan di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Seorang siswa berusia 14 tahun, berinisial A, yang sebelumnya menjadi korban pemukulan oleh oknum guru di SD-SMPN Satap Pulau Seraya, kini justru dikeluarkan secara sepihak oleh pihak sekolah. Lebih ironis lagi, ia kini sulit diterima di sekolah lain di Labuan Bajo.
Keputusan pemberhentian itu tertuang dalam Surat Keputusan Kepala Sekolah Nomor: 28/121.29/SATAP-PS/X/2025 tertanggal 15 Oktober 2025, yang ditandatangani Kepala Sekolah Sanusi. Dalam surat itu disebutkan A dijatuhi hukuman disiplin berat karena dianggap berulang kali melanggar tata tertib dan mengganggu ketertiban sekolah.
Namun, keputusan ini menuai polemik. Pasalnya, A adalah korban pemukulan oleh guru bernama Supardin, yang menyebabkan telinganya robek dan kasus tersebut bahkan sempat ditangani polisi. Guru pelaku kemudian dikenai denda Rp50 juta, dan menurut Kepala Sekolah, hal itu membuat para guru di sekolah tersebut menjadi trauma.
“Guru-guru trauma dengan kejadian itu karena rekan kami harus berurusan dengan polisi dan didenda Rp50 juta,” tulis Sanusi dalam suratnya.
“Selama saya mengajar sejak 2008, baru kali ini kami memberhentikan siswa, karena keluarga sudah keterlaluan minta denda terlalu besar.”
Sanusi menambahkan, pihak sekolah khawatir peristiwa serupa akan terjadi lagi dan dapat “menular” kepada siswa atau orang tua lainnya.
Keluarga: Sekolah Bunuh Masa Depan Anak Ini
Saudari kandung korban, Ayu Suryani, menuturkan bahwa keluarganya sudah mencoba mendaftarkan A ke sejumlah sekolah di Labuan Bajo. Namun semuanya menolak setelah menerima surat keterangan pindah dari SD-SMPN Satap Pulau Seraya.
“Awalnya mereka mau terima, tapi begitu lihat surat pindah, langsung ditolak tanpa alasan jelas. Ini sangat aneh,” kata Ayu, Kamis (6/11/2025).
Ayu menilai keputusan kepala sekolah sebagai bentuk pembunuhan masa depan anak di bawah umur.
“Adik saya masih butuh pendidikan. Tindakan mereka sama saja seperti membunuh masa depan anak ini,” ujarnya geram.
Ia juga menyebut Kepala Sekolah Sanusi telah mengingkari janji, karena sebelumnya berjanji A tetap boleh sekolah setelah kasus kekerasan diselesaikan secara kekeluargaan. Namun lima hari setelah laporan dicabut, surat pemberhentian justru keluar.
Kasus Kekerasan dan Denda Rp50 Juta
Menurut keterangan keluarga, denda Rp50 juta yang disebut oleh pihak sekolah bukan tuntutan resmi keluarga korban. Nilai tersebut muncul dari inisiatif seorang paman bernama Sira, yang mencoba memediasi antara pihak korban dan pelaku.
“Awalnya Paman Sira menawarkan Rp75 juta, tapi pelaku hanya sanggupi Rp50 juta. Kami akhirnya sepakat damai di Polres, semua terdokumentasi,” jelas Ayu.
Meski begitu, ia menegaskan bahwa kasus kekerasan dan keputusan pemberhentian sekolah adalah dua hal berbeda. Karena itu, keluarga berencana melaporkan kasus ini ke Komnas Perlindungan Anak jika A terus dipersulit untuk bersekolah.
Dinas Pendidikan: Hak Anak Harus Dijamin
Kepala Dinas Pendidikan, Kebudayaan, dan Olahraga Kabupaten Manggarai Barat, Yohanes Hani, meminta agar persoalan ini ditangani secara bijak dan berimbang.
“Pendidikan adalah hak dasar. Tidak boleh ada satu pun anak yang tidak bisa sekolah. Tapi di sisi lain, keamanan dan kenyamanan guru juga perlu diperhatikan,” ujar Yohanes, Jumat (7/11/2025).
Ia menilai persoalan denda Rp50 juta bisa saja membuat guru lain takut mengajar.
“Guru bisa saja trauma. Jangan sampai nanti setiap guru takut salah mengajar karena takut dituntut. Tapi tetap, tidak ada alasan untuk menolak anak sekolah,” tambahnya.
Yohanes berharap mediasi dilakukan dengan pendekatan kemanusiaan, agar siswa A bisa kembali mengenyam pendidikan tanpa mengabaikan perasaan para guru di Pulau Seraya.
Harapan untuk Solusi
Kasus ini menyoroti paradoks di dunia pendidikan: seorang anak korban kekerasan malah kehilangan haknya untuk belajar. Banyak pihak berharap Dinas Pendidikan segera turun tangan menengahi, agar hak dasar anak tetap terjaga tanpa mengabaikan kehormatan guru.
“Sekolah harus jadi tempat melindungi, bukan menghukum anak korban,” pungkas Ayu Suryani penuh haru.
Editor : Yoseph Mario Antognoni
Artikel Terkait
