Flotim, iNewsFlores.id – Dua tahun pasca erupsi Gunung Lewotobi yang meluluhlantakkan ribuan rumah warga di Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, janji negara untuk memulihkan hunian korban bencana masih belum beranjak dari tataran wacana.
Di Desa Boru, Boru Kedang, dan Pululera, bantuan stimulan rehabilitasi dan rekonstruksi rumah yang digembar-gemborkan pemerintah pusat tak kunjung terealisasi. Situasi ini memunculkan tanda tanya besar tentang komitmen dan keseriusan tata kelola penanganan pascabencana di wilayah rawan bencana seperti Flores Timur.
Padahal, sejak 2023 Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah memiliki payung kebijakan yang jelas. Keputusan Kepala BNPB Nomor 296A Tahun 2023 mengatur besaran bantuan stimulan, yakni Rp60 juta untuk rumah rusak berat, Rp30 juta untuk rusak sedang, dan Rp15 juta untuk rusak ringan.
Namun hingga penghujung 2025, kebijakan tersebut tak pernah menjelma menjadi bangunan rumah atau aliran dana ke rekening warga terdampak.
Harapan sempat tumbuh saat BNPB melakukan sosialisasi relokasi dan rehabilitasi. Pada 19 November 2024, Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB, Jarwansyah, menegaskan bahwa bantuan stimulan hanya boleh digunakan untuk membangun rumah, bukan untuk kebutuhan lain.
“Uang itu hanya boleh untuk membangun rumah, tidak boleh untuk beli motor,” tegasnya di hadapan pengungsi di Desa Konga.
Janji tersebut diperkuat Direktur Fasilitasi Penanganan Korban Pengungsi BNPB, Nelwan Harahap, yang menyebut bantuan akan disalurkan langsung kepada warga berdasarkan hasil survei tingkat kerusakan rumah.
Di lapangan, BNPB bersama BPBD Flores Timur memang sempat melakukan pendataan. Rumah-rumah warga didatangi, difoto, lalu ditandai dengan cat merah sebagai simbol klasifikasi kerusakan. Proses ini sempat menumbuhkan keyakinan bahwa bantuan hanya tinggal menunggu waktu.
Namun setelah pendataan rampung, proses justru berhenti tanpa kejelasan. Bulan berganti tahun, bantuan tak kunjung cair. Bahkan, warga mengaku tak pernah diminta nomor rekening, padahal skema transfer langsung menjadi janji utama pemerintah.
“Bagaimana uang bisa masuk rekening, sementara nomor rekening kami belum pernah didata. Waktu itu petugas hanya datang foto rumah lalu jalan,” ungkap Yohanes, warga Desa Boru.
Mandeknya peran negara membuat ruang pemulihan justru diisi oleh inisiatif pemerintah desa dan solidaritas lembaga kemanusiaan. Pemerintah Desa Boru Kedang, misalnya, terus mencari donasi seng untuk warga yang rumahnya hancur akibat erupsi.
Dari total 265 rumah rusak berat, baru 195 rumah yang menerima bantuan seng, rata-rata 50 lembar per rumah. Seluruh bantuan tersebut berasal dari donatur, di antaranya JPIC SVD, Rumah Visi Indonesia, Yayasan Help Flores, serta sejumlah pihak lain yang tergerak oleh penderitaan warga.
Pada 27 Desember 2025, Yayasan Help Flores kembali menyambangi Desa Boru Kedang. Kunjungan tersebut dipantau langsung oleh pimpinan yayasan dari Belanda, Mr. Herbert, yang secara simbolis menyerahkan bantuan seng untuk 15 rumah warga.
Ironisnya, hingga kini bantuan pemerintah yang benar-benar terealisasi di desa ini hanya berupa 71 lembar seng dari Dinas Perumahan Kabupaten Flores Timur—jumlah yang dinilai jauh dari memadai dibandingkan skala kerusakan.
Masih terdapat sekitar 70 rumah warga Desa Boru Kedang yang belum menerima bantuan dari pihak mana pun. Kondisi ini memaksa pemerintah desa terus mengetuk pintu donatur, lembaga kemanusiaan, bahkan jaringan internasional, sembari menunggu kejelasan tanggung jawab negara.
“Kami tidak akan berhenti berusaha. Selama masih ada warga yang belum terbantu, kami akan terus mencari donasi dari mana pun,” tegas Kepala Desa Boru Kedang, Darius Don Boruk.
Pemerintah desa berharap keterlibatan nyata dari pemerintah di level yang lebih tinggi. Tanpa komitmen yang jelas dan konsisten, pemulihan pascabencana dikhawatirkan terus berjalan timpang—meninggalkan korban erupsi dalam ketidakpastian yang berkepanjangan.
Editor : Yoseph Mario Antognoni
Artikel Terkait
