Labuan Bajo, iNewsFlores.id - Penanganan kasus dugaan pemalsuan dokumen tanah 'Wau Pitu Gendang Pitu Tanah Boleng' telah lama di tangani Kepolisian Daerah (Polda) Nusa Tenggara Timur (NTT) akhirnya tuntas setelah Polda NTT menetapkan status P21 atau pemberitahuan bahwa hasil penyidikan sudah lengkap untuk kasus tersebut.
Menurut Kabid Humas Polda NTT, Kombes Pol Ariasandy saat dikonfirmasi, Selasa, (3/1/2023) kasus dugaan pemalsuan dokumen yang ditangani Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) sudah ditetapkan P21 berdasarkan hasil koordinasi dengan pihak Kejaksaan.
"Iya, Alhamdulilah sudah P21. Kasus sudah P21 pada 8 desember 2022 yang lalu. Dari hasil koordinasi dengan pihak kejaksaan untuk pelaksanaan tahap 2 pelimpahan tersangka dan barang bukti akan dilaksanakan tanggal 10 januari 2023 mendatang." Ujar Akpol 98 ini.
Sebelumnya, Ditreskrimum Polda NTT pernah menetapkan mantan Camat Boleng Bonaventura Abunawan sebagai tersangka, dan sudah melayangkan panggilan sebanyak dua kali kepada mantan Camat Boleng ini.
Tu'a Gendang Terlaing, Hendrikus Jempo mengatakan, kasus ini mulai dilanjutkan oleh Polda NTT meski sebelumnya sempat terhenti.
"Kasus ini sempat diproses hingga Bonaventura menyandang status tersangka tetapi terhenti tanpa alasan yang jelas," ujar Hendrik sebagaimana dilansir Dailyflores.com, Selasa (3/01/2023).
Tu'a Golo Terlaing Bone Bola sebagai pelapor, kata Hendrikus, terus berjuang agar kasus dugaan pemalsuan dokumen tanah tersebut bisa menemukan titik terang. Hal itu agar mengantisipasi terjadinya konflik horizontal.
Ia mengatakan, dokumen 'Wau Pitu Gendang Pitu Tanah Boleng' ini memang aneh dan meresahkan masyarakat adat Boleng.
Jika dicermati, lanjut dia, dalam dokumen itu ada beberapa kampung adat yang dibuat hilang yaitu Wangkung, Rai, sebagian Rareng, Tebedo, Terlaing, Lancang dan Nggorang.
Dalam dokumen itu juga Lingko Menjerite milik Lancang, Lingko Nerot milik Kampung Terlaing dan sebagian Lingko Warang milik Rareng, tiba-tiba diklaim sebagai tanah milik masyarakat adat Mbehal.
"Ini kan aneh dan tidak masuk akal. Bone Bola terpanggil untuk meluruskan persoalan ini dan lakukan antisipasi untuk hindari konflik horizontal. Ia melaporkan kasus ini ke Polda NTT di Kupang," jelas Hendrikus.
Setelah kasus tersebut terhenti di meja penyidik Polda NTT, kata Hendrikus, Bonaventura seenak jidat membagi-bagi tanah milik orang meski tanah tersebut telah bersertifikasi.
"Selama kasus ini terhenti, saudara Bona ini dengan leluasa membagi-bagi tanah milik orang itu kepada siapa saja tanpa menghiraukan bahwa tanah tersebut sudah bersertifikat. Lokasi itu dibersihkan dan ditanami pisang dan buat pondok. Anehnya, setiap orang yang mendapat tanah itu tidak diberikan dokumen tanda bukti. Ini cara licik," kesal Hendrikus.
Menurut dia, aksi Bonaventura membuat kalangan masyarakat adat geram. Aksi ini juga dinilai berbahaya dalam kehidupan masyarakat.
"Para tokoh adat di Boleng, terutama Terlaing dan Lancang menahan diri dan berupaya jangan terulang lagi tragedi berdarah 2017 di Menjerite," jelasnya.
Sementara itu, Tu'a Golo Terlaing Bone Bola mengatakan, tragedi Menjerite diduga sama seperti yang dilakukan mantan Camat Bonevantura tersebut.
"Tragedi Menjerita mirip seperti ini, ada aktor intelektual yang memprovokasi masyarakat. Tampaknya dokumen ini diduga bertujuan saudara Bona bersama sindikatnya, mau mengendalikan tanah adat masyarakat Boleng," kata dia.
"Taktiknya, dengan menggunakan peta zaman Belanda dulu yang disebut “Hamente” atau Kedaluan. Jika dibandingkan sekarang kira-kira sama seperti kecamatan. Kebetulan pusat Kedaluan Boleng terakhir di Mbehal, yang sebelumnya di Rareng. Mbehal adalah kampung saudara Bona," imbuh Bone Bola.
Bonaventura, lanjut dia, menjadikan peta itu di bawah kendalinya bersama ayahnya. Ia menduga Bonaventura membuat peta itu untuk mengendalikan tanah adat Boleng di bawah koordinasinya bersama ayahnya.
Padahal Kampung Mbehal itu berada di balik gunung dan posisi Lingko Menjerite dan Nerot melewati kampung adat Wangkung, Rareng, Rai dan Tebedo.
"Ini benar-benar aneh dan orang ini tidak memahami adat Manggarai," tegas Bone Bola.
Ia menjelaskan, kampung dan lingko dalam kehidupan orang Manggarai sangat dekat. Dalam wilayah “Hamente” dihuni sejumlah kampung adat yang memiliki gendang (rumah adat) dan lingko (tanah adat).
Dokumen yang diduga hasil penipuan ini jelas-jelas merusak tatanan adat dan menimbulkan keresahan dalam masyarakat.
Bone Bola mengatakan, ada dua dokumen yang dipersoalkan yaitu satu dokumen yang ada tanda tangan mantan Bupati Mabar Agustinus Ch. Dula dan satu lagi tanpa tanda tangannya.
Dokumen yang ada tanda tangan Mantan Bupati Mabar Agustinus Ch. Dula diduga untuk memuluskan penerbitan sertifikat di BPN untuk lokasi PLN di Rangko.
Menurut Bone Bola, para tokoh adat yang tanda tangan di dokumen Mantan Bupati Mabar Agustinus Ch. Dula terjebak karena penjelasan yang disampaikan Bonaventura kala itu sebagai Camat Boleng digunakan untuk pemekaran desa dan jalan Pantai Utara.
Sedangkan dokumen kedua adalah tanpa tanda tangan Mantan Bupati Mabar Agustinus Ch. Dula diduga untuk memuluskan proses pengadilan PLN Rangko.
"Dokumen yang kedua ini diduga jelas-jelas penipuan karena para tokoh adat menyatakan bahwa mereka hanya menandatangani yang ada tanda tangan Bupati, yang lain tidak," tegas Bone Bola.
Dokumen yang kedua inilah yang menjadi titik pangkal gugatan Tu'a Golo Terlaing
Editor : Yoseph Mario Antognoni