PMK 81 Tahun 2025 Jadi Bumerang, 72 Desa di Manggarai Barat Terancam Lumpuh Anggaran
Labuan Bajo, iNewsFlores.id – Kebijakan fiskal pusat kembali menuai sorotan. Sebanyak 72 desa di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, terancam tidak menerima Dana Desa (DD) Tahap II Non Earmark setelah terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2025. Kebijakan ini dinilai tidak sensitif terhadap realitas tata kelola desa dan berpotensi melumpuhkan pelayanan dasar di tingkat akar rumput.
Akibat aturan baru tersebut, total Rp19,9 miliar Dana Desa tak bisa dicairkan. Padahal, dana non earmark selama ini menjadi tulang punggung pembiayaan kegiatan strategis desa, mulai dari pembangunan fisik, honor guru PAUD, kader Posyandu, hingga tenaga kesehatan.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Manggarai Barat, Pius Baut, menyebut penyebab utama 72 desa gagal mencairkan DD Tahap II karena keterlambatan pelaporan realisasi Dana Desa Tahap I, sebagaimana dipersyaratkan dalam PMK 81 Tahun 2025.
“Ada 72 desa yang terdampak. Dana Desa tahap II khusus non earmark tidak bisa dicairkan karena laporan realisasi tahap I terlambat,” ujar Pius.
Namun, kebijakan ini dinilai problematik karena mengabaikan pola kerja dan realitas lapangan di desa. Selama bertahun-tahun, desa terbiasa melanjutkan kegiatan terlebih dahulu dengan asumsi Dana Desa pasti cair, sebagaimana praktik pada regulasi sebelumnya. Kini, pola lama itu justru berbuah petaka.
“Mereka tetap bangun karena terbiasa dengan pola lama. Tapi kali ini dananya tidak cair,” ungkap Pius.
Dampak PMK 81 Tahun 2025 tidak berhenti pada administrasi. Pemerintah desa kini kebingungan membayar upah pekerja, termasuk guru PAUD, tenaga kesehatan, kader Posyandu, hingga pekerja pembangunan yang telah bekerja sesuai APBDes 2025.
Ironisnya, kegiatan tersebut telah disepakati secara formal melalui perencanaan dan penganggaran desa. Namun, negara justru “menarik rem” di tengah jalan.
Situasi ini memunculkan pertanyaan serius: Apakah kesalahan administrasi harus dibayar dengan terhentinya pelayanan publik desa?
Pemerintah pusat melalui surat edaran bersama Kementerian Keuangan, Kemendagri, dan Kementerian PDTT memang menawarkan solusi. Salah satunya, pembiayaan kegiatan non earmark yang terlanjur berjalan dapat diambil dari dana ketahanan pangan, jika dana tersebut belum terserap.
Namun solusi ini dinilai tambal sulam dan tidak menyentuh akar masalah.
“Kalau dana ketahanan pangan sudah cair ke posnya, solusi itu tidak menyelesaikan masalah,” tegas Pius.
Solusi lain, desa diminta menggunakan sumber Dana Desa lainnya. Parahnya lagi, dalam edaran tersebut ditegaskan bahwa kegiatan non earmark yang gagal dibayar tidak boleh dianggarkan ulang pada tahun 2026.
Artinya, desa menanggung beban ganda: pekerjaan sudah dilakukan, tetapi anggaran tak tersedia, dan tidak boleh diperbaiki di tahun berikutnya.
PMK 81 Tahun 2025 sejatinya bertujuan mendorong disiplin administrasi desa. Namun di Manggarai Barat, kebijakan ini justru berubah menjadi hukuman kolektif yang menghantam desa-desa dengan kapasitas administratif terbatas.
Tanpa masa transisi yang memadai, tanpa pendampingan teknis yang kuat, kebijakan ini berpotensi memperlebar jurang ketimpangan antara desa yang “siap secara administrasi” dan desa yang tertinggal.
Jika pemerintah pusat tidak segera melakukan evaluasi, Dana Desa yang seharusnya menjadi instrumen pemerataan justru berubah menjadi sumber krisis baru di desa.
Editor : Yoseph Mario Antognoni