Dana Desa Terkunci di Flores Timur: Regulasi Ketat Pusat Hantam Desa, Layanan Publik Terancam Lumpuh
Flotim, iNewsFlores.id – Kebijakan fiskal pemerintah pusat kembali menuai kritik. Sebanyak 93 desa di Kabupaten Flores Timur terjebak dalam kebuntuan anggaran setelah Dana Desa non earmark tahun 2025 tak kunjung cair. Bukan karena kekurangan anggaran negara, melainkan akibat regulasi baru yang dinilai kaku dan minim ruang adaptasi bagi desa.
Penerapan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2025, revisi atas PMK 108 Tahun 2024, secara nyata mengubah wajah pengelolaan Dana Desa. Aturan ini memperketat syarat administratif hingga menjadikan sistem pencairan bersifat “hitam-putih”: desa yang tak memenuhi satu indikator langsung tersingkir, tanpa kompromi atas kondisi riil di lapangan.
Dari 289 desa di Flores Timur, hanya 196 desa yang berhasil mencairkan Dana Desa non earmark tahap II. Sebanyak 93 desa lainnya terkunci, termasuk Desa Boru di Kecamatan Wulanggitang. Akibatnya, ruang fiskal desa menyempit drastis.
Dana non earmark sejatinya menjadi urat nadi operasional desa, karena fleksibel membiayai kebutuhan mendesak dan kontekstual: honor guru PAUD, tenaga kesehatan, kader posyandu, hingga proyek infrastruktur skala kecil. Ketika dana ini tertahan, yang lumpuh bukan sekadar administrasi, tetapi pelayanan publik paling dasar.
Ironisnya, penyebab tertahannya dana sebagian besar bersifat administratif dan teknis. Mulai dari target serapan tahap I yang tidak mencapai angka minimal, laporan tahun sebelumnya yang belum tuntas, hingga kewajiban pembentukan Koperasi Merah Putih yang secara faktual belum siap di banyak desa.
“Banyak desa tidak bisa membayar honor guru PAUD, tenaga kesehatan, kader posyandu, hingga kader PKM,” ungkap Kepala Dinas PMD Flores Timur, Paulus Petala Kaha.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah kebijakan fiskal desa kini lebih mementingkan kepatuhan sistem ketimbang keberlangsungan layanan masyarakat?
Kewajiban administratif seperti sinkronisasi APBDes ke OM-SPAN, unggahan surat komitmen, hingga tenggat waktu pengumpulan dokumen yang kaku, diterapkan secara seragam tanpa mempertimbangkan kapasitas SDM desa yang timpang, keterbatasan akses internet, serta kondisi geografis Flores Timur yang tidak ramah.
Lebih problematis lagi, terdapat faktor kendala teknis di tingkat pemerintah daerah, seperti kesalahan input data dan belum diperbaruinya pagu anggaran. Namun, konsekuensi justru ditanggung penuh oleh desa dan warga.
Dalam jangka pendek, proyek infrastruktur desa terancam mangkrak. Dalam jangka panjang, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah desa dan negara ikut tergerus, karena warga melihat negara hadir lewat aturan, tetapi absen dalam solusi.
Daftar 93 desa yang tidak menerima Dana Desa non earmark tahap II tersebar hampir di seluruh kecamatan di Flores Timur, menunjukkan bahwa masalah ini bersifat sistemik, bukan kesalahan individu desa semata.
Kebijakan Dana Desa yang sejak awal dirancang sebagai instrumen pemerataan dan pemberdayaan kini berpotensi berubah menjadi alat eksklusi fiskal, ketika regulasi terlalu ketat tanpa mekanisme pendampingan dan transisi yang adil.
Jika pemerintah pusat dan daerah tidak segera membuka ruang evaluasi dan diskresi kebijakan, maka desa-desa di Flores Timur hanya akan menjadi korban sunyi dari regulasi yang gagal membaca realitas di akar rumput.
Editor : Yoseph Mario Antognoni