Labuan Bajo, iNewsFlores.id— Ketakutan akan hilangnya keindahan asli Pulau Padar kini berubah menjadi kemarahan. Rencana pembangunan 619 fasilitas wisata oleh perusahaan swasta PT. KWE di Pulau Padar — salah satu kawasan konservasi utama dalam Taman Nasional Komodo — menuai gelombang penolakan dari berbagai pihak. Dalam proyek seluas 15,75 hektare ini, akan dibangun 448 vila, 15 restoran dan kafe, kolam renang, bahkan rumah ibadah untuk acara pernikahan wisatawan.
Masyarakat lokal, aktivis lingkungan, dan pelaku pariwisata menyebutnya sebagai bentuk “komersialisasi brutal” atas salah satu warisan alam paling penting di Indonesia — bahkan dunia.
“Kalau Pulau Padar dibangun, maka selesai sudah narasi pariwisata alami di Labuan Bajo,” tegas Matheus Siagian, pelaku pariwisata dan pemilik Eco Tree O'Tel di Labuan Bajo.
Investor Masuk, Alam Terancam
Pulau Padar selama ini menjadi simbol ekowisata: sebuah lanskap alami yang belum tersentuh, dikenal luas karena pemandangan perbukitan spektakuler dan garis pantai melengkung yang eksotis. Namun proyek masif ini, jika dijalankan, berpotensi mengubah kawasan konservasi menjadi taman bermain para investor.
“Wisatawan datang ke sini karena kealamiannya. Kalau yang ditawarkan hanya beton dan spa, mereka bisa ke Bali, bukan ke taman nasional,” lanjut Matheus.
Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Sejumlah studi dari lembaga lingkungan menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur besar-besaran di zona konservasi hampir selalu berdampak negatif: perusakan habitat, gangguan satwa liar, hingga polusi permanen.
Balai TNK: Proyek Akan Diawasi Ketat
Kepala Balai Taman Nasional Komodo (BTNK), Hendrikus Rani Siga, menanggapi polemik ini dengan menegaskan bahwa setiap inisiatif baru di kawasan konservasi selalu menimbulkan penolakan pada awalnya. Namun, ia mengajak semua pihak untuk belajar dari pengalaman sebelumnya.
“Belajar dari kejadian-kejadian sebelumnya, selalu ada penolakan setiap ada inisiasi baru di kawasan TNK. Seperti di Loh Buaya, pada akhirnya semua pihak merasakan manfaatnya, baik bagi satwa dan ekosistemnya, pengunjung TNK, pelaku usaha pariwisata, maupun pengelola,” jelas Hendrikus.
Menurutnya, sepanjang proyek dijalankan sesuai ketentuan hukum dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap nilai penting kawasan — khususnya Komodo dan habitatnya — BTNK akan tetap menjalankan fungsi pengawasan.
“Balai TNK akan terus melakukan pengawasan dan memastikan semuanya berjalan sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi dan aturan hukum yang berlaku. Tidak hanya BTNK dan masyarakat yang melakukan pengawasan, tetapi UNESCO juga sangat ketat dalam mengawasi rencana ini mengingat TNK adalah World Heritage Site,” tegasnya.
Suara Penolakan Kembali Menggema
Situasi ini mengingatkan masyarakat pada gerakan besar tahun 2018, saat ribuan warga Manggarai Barat menolak segala bentuk privatisasi di Taman Nasional Komodo. Pemerintah saat itu, di bawah Presiden Joko Widodo, merespons cepat dan mencabut sebagian besar izin yang dianggap bermasalah.
Kini, gerakan #SavePulauPadar kembali bergema di media sosial dan komunitas akar rumput. Warga menuntut Presiden Prabowo Subianto melakukan hal yang sama: turun tangan langsung dan menghentikan proyek ini.
Tuntutan Warga: Negara Harus Hadir, Bukan Menggadai
Menurut Matheus Siagian, akar masalahnya bukan hanya pada perusahaan investor, tetapi pada abainya negara dalam menjaga amanah konservasi.
“Taman Nasional Komodo itu milik rakyat, bukan proyek bisnis elite. Kalau negara malah jadi fasilitator investor, lalu siapa yang jaga?” tegasnya.
Berikut tuntutan konkret dari masyarakat dan pelaku pariwisata:
Audit menyeluruh terhadap seluruh izin pembangunan di Taman Nasional Komodo.
Kementerian LHK dan Balai TNK diminta membuka semua dokumen izin secara transparan.
Moratorium pembangunan skala besar di seluruh zona konservasi.
Keterlibatan masyarakat lokal dalam setiap proses perencanaan dan pengambilan keputusan.
Pulau Padar Tidak Butuh Vila, Ia Butuh Perlindungan
Gerakan #SavePulauPadar bukan sekadar protes, tetapi seruan untuk menyelamatkan salah satu wajah terakhir alam liar di Indonesia. Di tengah krisis iklim global, membangun vila di kawasan konservasi bukan hanya salah arah — tapi pengkhianatan terhadap masa depan.
“Kita harus berhenti memperlakukan taman nasional seperti etalase bisnis. Pulau Padar tidak butuh spa dan vila. Ia butuh perlindungan,” tutup Matheus Siagian.
Editor : Yoseph Mario Antognoni
Artikel Terkait