Maumere, iNewsFlores.id- Anggota DPRD Kabupaten Sikka, Agustinus Adeodatus Kalimantan Timur, mengatakan bahwa reaksi penutupan rumah makan oleh sejumlah pengusaha menunjukkan ketidakpahaman terhadap esensi kebijakan perpajakan daerah, khususnya terkait pajak restoran sebesar 10 persen.
Menurutnya, masih banyak pelaku usaha yang belum mampu membedakan secara jelas antara konsep wajib pajak dan subjek pajak.
"Pajak restoran 10% adalah tarif yang dibayar oleh konsumen atau orang yang datang makan atau minum di restoran, atau disebut sebagai subjek pajak, yang tidak dikenakan PPN. Pelaku usaha sebagai wajib pajak dasar pengenaan pajak restoran adalah jumlah pembayaran yang dilakukan kepada restoran," kata Adeo sapaan akrabnya.
"Jadi, menutup usaha karena pajak 10 persen adalah gagal paham," sambungnya.
Pernyataan tersebut disampaikan sebagai respons atas sikap sejumlah pemilik usaha rumah makan yang menutup tempat usaha mereka sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemungutan pajak restoran.
Adeo menilai bahwa langkah tersebut keliru dan menunjukkan lemahnya kesadaran serta pemahaman terhadap sistem perpajakan yang berlaku.
Ia menegaskan, pelaku usaha makanan dan minuman di Kabupaten Sikka, apapun latar belakang etnis atau daerah asal mereka, tetap merupakan bagian dari masyarakat Sikka. Karena itu, sebagai warga yang hidup dalam satu wilayah administrasi, semua pihak harus tunduk pada aturan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah.
"Pelaku usaha adalah warga Sikka, terlepas dari asal mereka, orang Jawa, Padang, dan lain-lain, bahwa sebagai masyarakat harus taat aturan," ujar Adeo sapaan akrabnya.
Adeo menjelaskan, dasar hukum penerapan pajak restoran tersebut termuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
UU tersebut merupakan regulasi terbaru yang menjadi acuan penting dalam sistem perpajakan daerah di seluruh Indonesia. Di dalamnya, terdapat semangat untuk memperkuat kapasitas fiskal daerah atau local taxing power, serta mendorong terwujudnya desentralisasi fiskal yang berkeadilan.
"UU PDRD terbaru adalah UU No 1 Tahun 2022 tentang HKPD memuat beberapa format penting yang mengatur tentang pajak adalah meningkatkan local taxing power dan desentralisasi fiscal," ungkapnya.
Dalam konteks ini, pungutan pajak bukan sekadar instrumen administrasi keuangan, melainkan bagian dari strategi pemerintah daerah untuk memperkuat kemandirian fiskal dan mendorong pembangunan. Pajak yang dikumpulkan dari masyarakat, termasuk dari sektor usaha restoran, akan digunakan kembali untuk mendanai program-program pembangunan daerah yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan warga.
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu menyadari bahwa penerapan pajak daerah memang tidak terlepas dari tantangan, terutama berkaitan dengan tingkat kesadaran masyarakat dan pelaku usaha dalam memenuhi kewajibannya.
Namun, ia mengajak seluruh warga, termasuk para pemilik usaha rumah makan yang kini telah menjadi bagian dari masyarakat Kabupaten Sikka, untuk membangun komitmen bersama dalam mendukung jalannya kebijakan tersebut.
"Pesan kesadaran yang ingin saya sampaikan kepada saudara, dari berbagai daerah yang sudah menjadi warga Sikka, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung, mari bersama taat aturan," tutur Adeo.
Dengan demikian, menurut Adeo kebijakan pajak 10 persen yang dikenakan kepada konsumen bukanlah beban tambahan bagi pelaku usaha, melainkan bagian dari sistem yang mengatur tanggung jawab kolektif dalam membiayai kebutuhan pembangunan daerah.
Ia berharap, dengan pemahaman yang benar, para pelaku usaha tidak lagi terjebak dalam salah kaprah yang merugikan diri mereka sendiri dan masyarakat luas.
Editor : Yoseph Mario Antognoni
Artikel Terkait